Jabaran.id – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memperingatkan bahwa persoalan lingkungan di wilayahnya berpotensi menimbulkan dampak serius bagi wilayah Jakarta dan Banten jika tidak segera ditangani. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks degradasi lingkungan yang terjadi di sejumlah kawasan strategis di Jawa Barat, yang berpengaruh langsung terhadap pasokan air bersih dan kualitas hidup masyarakat di tiga provinsi tersebut.
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa 70 persen pasokan air bersih Jakarta berasal dari Waduk Jatiluhur di Jawa Barat. Namun, sumber air utama waduk tersebut, yaitu daerah tangkapan air di Gunung Wayang dan Gunung Windu di Kabupaten Bandung, mengalami degradasi lingkungan yang signifikan.
“Sumber air Jatiluhur itu berasal dari Gunung Wayang dan Windu di Kabupaten Bandung yang saat ini mengalami degradasi,” kata Dedi.
Penyebab utama degradasi tersebut adalah deforestasi akibat perencanaan tata ruang yang buruk serta perubahan harga komoditas teh. Dedi menyebutkan, banyak petani teh yang beralih menjadi petani sayur karena fluktuasi harga, sehingga mengurangi tutupan vegetasi di kawasan pegunungan.
“Jika masalah ini tidak segera dibenahi dengan reboisasi, penertiban penduduk yang bermukim di atas gunung, dan stabilisasi harga teh, ancaman krisis air bersih dan energi di Jakarta akan semakin nyata,” ujarnya.
Selain persoalan deforestasi, Dedi juga menyoroti kerusakan lingkungan di Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, akibat aktivitas pertambangan material bangunan. Kawasan ini menjadi pemasok utama pasir, batu split, dan tanah urug untuk proyek-proyek infrastruktur dan properti di Jakarta dan Banten.
“Parung Panjang selama ini menjadi sumber utama material bangunan untuk proyek-proyek besar di Jakarta dan Banten,” kata Dedi.
Namun, aktivitas pertambangan tersebut justru menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat setempat. Lalu lintas truk pengangkut material yang padat menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur jalan, sementara debu dan polusi udara dari tambang memicu peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di kalangan warga.
“Infrastrukturnya hancur total, masyarakatnya kena ISPA,” ucap Dedi.
Ia menambahkan, meskipun pembangunan di Jakarta dan Banten telah mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor properti, manfaatnya tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat Parung Panjang.
“Pertumbuhan pembangunan di Jakarta dan Banten melahirkan orang-orang kaya baru di bidang properti, tetapi juga meninggalkan kemiskinan dan penderitaan bagi rakyat Jawa Barat,” tegasnya.
Untuk memulihkan kondisi Parung Panjang, Dedi menyebutkan diperlukan dana hingga Rp 1,2 triliun. Namun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak dapat menanggung biaya tersebut sendirian mengingat luasnya wilayah yang harus dikelola.
“Tidak mungkin Jawa Barat menanggung Rp 1,2 triliun hanya untuk memulihkan satu kecamatan, karena kami memiliki lebih dari 600 kecamatan,” jelasnya.
Oleh karena itu, Dedi menekankan pentingnya kerja sama konkret antara Jawa Barat, Jakarta, dan Banten untuk mencari solusi bersama. Ia berharap kolaborasi antardaerah ini dapat menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pemulihan lingkungan agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan.
“Harus ada upaya pemulihan yang dilakukan secara bersama-sama, bukan hanya sekadar kerja sama formal, tetapi secara substansial,” ujarnya.
Dedi Mulyadi mengingatkan bahwa tanpa langkah serius dari semua pihak, masalah lingkungan di Jawa Barat tidak hanya akan berdampak pada ketersediaan air bersih, tetapi juga memperburuk kualitas hidup masyarakat di wilayah sekitarnya.
“Ancaman bagi Jakarta di masa depan bukan hanya krisis air, tetapi juga krisis energi dan kerusakan lingkungan yang lebih luas,” pungkasnya.
Peringatan ini sekaligus menjadi ajakan bagi pemerintah daerah dan pusat untuk segera mengambil tindakan nyata dalam mengatasi degradasi lingkungan dan memastikan pembangunan berjalan berkelanjutan. (*)