Jabaran.id,- BANDUNG, Panitia Khusus (Pansus) 8 DPRD Kota Bandung terus mematangkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren. Dalam salah satu tahapannya, Pansus telah menggelar eksposé bersama tim penyusun naskah akademik guna menelusuri akar historis serta urgensi pembentukan perda tersebut.
Ketua Pansus 8, Aa Abdul Rozak, S.Pd.I., M.Ag, menjelaskan bahwa pertemuan dengan tim akademik penting dilakukan agar pembahasan perda tidak hanya bersifat normatif, namun juga berbasis historis, filosofis, dan sosiologis.
“Kami melakukan eksposé bersama tim naskah akademik untuk menggali latar belakang historis serta filosofi yang melandasi pentingnya penyusunan perda pesantren di Kota Bandung,” ujar Aa Abdul Rozak.
Salah satu temuan penting dari diskusi tersebut adalah kebutuhan untuk memberikan rekognisi, atau pengakuan resmi, terhadap eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi besar dalam sejarah bangsa Indonesia.
Menurut Aa, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara, bahkan sebelum sistem pendidikan formal pemerintah diterapkan. Pesantren telah melahirkan banyak tokoh besar yang berperan dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa, termasuk para ulama, politisi, birokrat, dan pengusaha.
“Secara historis, pesantren adalah bagian penting dari perjalanan bangsa ini. Santri dan kiai turut berjuang melawan penjajah. Maka, pemerintah perlu hadir dan memberikan pengakuan terhadap peran penting ini melalui regulasi yang sah,” tegasnya.
Selain pengakuan, afirmasi menjadi poin kedua yang ingin ditekankan dalam raperda ini. Aa menjelaskan, saat ini bantuan terhadap pesantren cenderung bersifat terbatas, yakni hanya berupa hibah atau bantuan sosial (bansos) yang disalurkan melalui Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra).
Padahal, kebutuhan pesantren jauh lebih luas. Misalnya, pembangunan asrama (kobong), penyediaan fasilitas kesehatan, hingga pengelolaan sanitasi lingkungan. Jika perda disahkan, bantuan tersebut nantinya bisa melibatkan organisasi perangkat daerah (OPD) lintas sektor, seperti Dinas Kesehatan, Dinas PUPR, hingga Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
“Selama ini bantuan hanya datang dari Kesra. Kalau sudah ada perda dan peraturan wali kota (perwal), maka OPD lain bisa ikut terlibat. Misalnya pesantren butuh klinik, Dinkes bisa hadir. Kalau butuh perbaikan bangunan, PUPR bisa turun tangan. Jadi tidak semata-mata bergantung pada Kesra,” urainya.
Dalam rangka memperkaya muatan substansi raperda, Pansus 8 juga melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah. Salah satu daerah yang dikunjungi adalah Kabupaten Cirebon, yang dikenal sebagai daerah dengan jumlah pesantren terbanyak di Jawa Barat.
Dari hasil kunjungan, diketahui bahwa Kabupaten Cirebon memiliki setidaknya 884 pesantren dengan karakteristik dan tipologi yang beragam. Berdasarkan informasi dari Kementerian Agama setempat, pesantren di sana harus memenuhi sejumlah kriteria untuk dapat terdaftar secara resmi. Misalnya, seorang kiai pengajar harus memiliki bukti keilmuan berupa sertifikat, dan sebuah pesantren minimal harus memiliki 15 santri yang tinggal di dalam pondok.
“Kalau tidak ada santri yang mondok, maka itu bukan pesantren tapi majelis taklim,” ujar Aa menjelaskan hasil temuannya di Cirebon.
Selain Cirebon, Pansus juga telah melakukan studi tiru ke Kota Tangerang, yang lebih dulu memiliki Perda tentang pesantren. Dalam waktu dekat, kunjungan serupa akan dilakukan ke wilayah Jawa Tengah untuk mendapatkan referensi tambahan.
Langkah selanjutnya, kata Aa, adalah mengundang pihak-pihak yang berkepentingan di Kota Bandung, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan pondok pesantren, dan Forum Pondok Pesantren Kota Bandung. Tujuannya adalah agar aspirasi lokal bisa terdengar dan dimasukkan dalam raperda.
“Kita sudah mendapat masukan dari luar kota, sekarang kita perlu dengar aspirasi dari pesantren-pesantren di Bandung sendiri. Mereka lebih tahu kebutuhan dan tantangan yang dihadapi di lapangan,” katanya.
Sebagai bagian dari penguatan lokalitas dalam substansi perda, Pansus juga merencanakan studi lapangan ke lima pondok pesantren yang memiliki nilai historis dan keunikan tersendiri di Kota Bandung.
Sebagai bagian dari penguatan lokalitas dalam substansi perda, Pansus juga merencanakan studi lapangan ke lima pondok pesantren yang memiliki nilai historis dan keunikan tersendiri di Kota Bandung.
Beberapa pesantren yang akan dikunjungi antara lain:
-
Pesantren Nurul Iman (Cibaduyut)
-
Ponpes Persis Pajagalan, yang merupakan pesantren Persatuan Islam pertama secara historis
-
Pesantren Samsul Ulum Muhammadiyah (Ujungberung)
-
Ponpes Sukamiskin (Arcamanik), salah satu pesantren tertua di Jawa Barat
-
Ponpes Universal (Cibiru), yang dikenal dengan praktik keberagaman dan toleransinya
“Dengan memahami langsung kearifan lokal, kita bisa menyusun pasal-pasal yang benar-benar relevan dan dibutuhkan masyarakat pesantren di Bandung,” tutur Aa.
Perda Harus Ditindaklanjuti dengan Perwal setelah raperda disahkan, Aa menekankan pentingnya adanya Peraturan Wali Kota (Perwal) sebagai petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) dari perda tersebut. Tanpa itu, implementasi perda dikhawatirkan tidak maksimal.
“Perda hanya akan menjadi simbol jika tidak diikuti dengan perwal yang operasional. Dengan adanya dua regulasi ini, negara betul-betul bisa hadir dalam penyelenggaraan pesantren,” pungkasnya. (*)