Jabaran.id, – Bandung, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bandung tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat dinilai masih belum mengakomodasi kebutuhan riil dalam membangun harmoni sosial secara menyeluruh. Anggota Panitia Khusus (Pansus) 9 DPRD Kota Bandung, Dr. Uung Tanuwidjaja, S.E., M.M., menyampaikan kritiknya bahwa raperda tersebut terlalu membatasi peran pemerintah hanya sampai di tingkat kelurahan, tanpa menyentuh peran penting yang dijalankan oleh Rukun Warga (RW).
Menurut Uung, peran RW dalam menjaga keberagaman dan mencegah potensi konflik sosial sangat krusial karena berada langsung di garis depan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Ia menegaskan, penguatan peran RW seharusnya menjadi bagian dari kebijakan turunannya, yakni Peraturan Wali Kota (Perwal).
“Anggota Pansus 9 mempunyai semangat yang sama untuk mendorong keberagaman di masyarakat. Namun, kalau melihat substansi raperda ini, masih kurang mendalam karena peran pemerintah dibatasi hanya sampai tingkat kelurahan. Padahal, RW adalah ujung tombak di lapangan yang bersentuhan langsung dengan dinamika masyarakat,” ujar Uung saat diwawancarai, baru-baru ini.
“Saya harap nanti dalam perwal-nya, fungsi dan peran RW dapat diatur secara lebih jelas dalam konteks keberagaman kehidupan bermasyarakat. Sayang kalau tidak dilibatkan,” sambungnya.
Dalam upaya memperkaya substansi raperda tersebut, Pansus 9 DPRD Kota Bandung telah melakukan studi banding ke sejumlah daerah yang dinilai berhasil dalam menjaga kerukunan masyarakat yang beragam secara etnis, budaya, dan agama. Kota Semarang menjadi salah satu referensi utama karena dinilai mampu meminimalisasi konflik sosial, terutama yang berkaitan dengan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
“Semarang, Salatiga, dan Singkawang merupakan kota-kota dengan tingkat keberagaman yang tinggi dan tingkat konflik sosial yang rendah. Semarang, misalnya, sangat jarang terjadi konflik bernuansa SARA. Mungkin karena karakter budaya pesisir yang terbuka dan toleran,” jelas Uung.
Uung menambahkan bahwa masyarakat di Semarang hidup berdampingan secara damai meskipun memiliki latar belakang etnis dan budaya yang beragam, seperti Arab, Tionghoa, dan masyarakat lokal. Ia menilai semangat menjaga kerukunan menjadi modal sosial yang kuat.
“Di sana banyak pedagang dari Arab, Cina, dan juga masyarakat lokal. Meski dulu pernah ada ketegangan, tapi mereka punya semangat untuk tetap menjaga kerukunan dan komunikasi,” ujarnya.
Berbeda dengan Semarang, Kota Bandung dinilai masih menghadapi beberapa letupan konflik yang dipicu oleh kurangnya komunikasi antarkelompok masyarakat. Menurut Uung, kasus-kasus yang muncul umumnya terkait dengan pembangunan rumah ibadah, bukan karena kebencian terhadap suku atau kelompok tertentu.
“Di Bandung, masalah yang sering muncul berkaitan dengan rumah ibadah. Ini terjadi karena masyarakat belum memahami prosedur pendiriannya. Di kota atau kabupaten lain biasanya masyarakat dan pemerintah berkomunikasi lebih baik terkait hal ini,” paparnya.
Meski begitu, Uung menegaskan bahwa raperda ini tidak membahas secara khusus mekanisme pendirian rumah ibadah maupun aspek perizinannya. Fokus utama raperda ini lebih kepada penguatan nilai-nilai kebersamaan, saling menghargai, dan toleransi dalam kehidupan sosial.
Kritik lain yang disampaikan Uung adalah ketiadaan klausul sanksi dalam raperda tersebut. Dalam draf yang dibahas, tindakan intoleransi dan diskriminasi hanya disebutkan sebagai perbuatan yang dilarang, namun tidak diiringi dengan sanksi administratif atau hukum yang tegas.
“Dalam raperda ini hanya disebutkan bahwa setiap orang, organisasi, atau badan hukum dilarang melakukan tindakan intoleransi dan diskriminasi. Tapi tidak ada sanksi yang diatur. Penyelesaiannya hanya lewat musyawarah yang dimulai dari tingkat kelurahan atau kecamatan,” tegasnya.
Menurut Uung, apabila terjadi pelanggaran yang mengarah pada tindak pidana, maka penanganannya diarahkan ke aparat penegak hukum. Namun, tetap diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu.
“Kalau sampai terjadi pelanggaran hukum, memang diarahkan ke penegak hukum. Tapi penekanan utama raperda ini adalah musyawarah. Ini baik untuk mengedepankan dialog, tapi juga perlu kehati-hatian agar tidak melemahkan penegakan aturan,” ungkapnya.
Raperda tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat ini terdiri dari 10 bab dan 24 pasal. Uung berharap, ketika raperda ini ditetapkan menjadi perda dan dilengkapi dengan aturan turunan yang kuat, masyarakat Kota Bandung akan memiliki pedoman bersama dalam membangun kehidupan sosial yang inklusif, toleran, dan damai.
“Kami berharap keberadaan perda ini nanti benar-benar membawa manfaat untuk memperkuat nilai-nilai toleransi dan kebersamaan. Kota Bandung ini penuh keberagaman, dan itu harus dijaga serta dikelola dengan baik agar tetap menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan,” pungkasnya. (*)