Jabaran.id – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana membuka kantor perwakilan di sejumlah wilayah, salah satunya di Kota Cirebon. Gedung Negara eks Bakorwil di Jalan Siliwangi, yang kini dipasangi plang bertuliskan “Kantor Gubernur Bale Jaya Dewata”, akan difungsikan sebagai kantor kerja gubernur. Namun, pemilihan nama tersebut menuai kritik dari kalangan budayawan setempat yang menilai proses penamaan seharusnya melibatkan tokoh lokal.
Pemprov Jabar tengah mempersiapkan Gedung Negara eks Bakorwil sebagai kantor perwakilan gubernur di Cirebon. Bangunan bersejarah ini sedang menjalani renovasi minor, seperti pengecatan dan perbaikan infrastruktur pendukung, tanpa mengubah struktur aslinya mengingat statusnya sebagai cagar budaya.
“Bangunan ini termasuk cagar budaya, jadi perbaikannya tidak sampai mengubah bentuk asli. Hanya pengecatan dan perbaikan jaringan internet serta fasilitas pendukung,” jelas Suci Hartati, pengelola Gedung Negara.
Namun, yang menjadi sorotan adalah penamaan “Bale Jaya Dewata” yang terpampang di depan gedung. Budayawan Cirebon, Jajat Sudrajat, mengaku heran dengan pemilihan nama tersebut karena dinilai tidak mencerminkan nilai lokal Cirebon.
“Kami dapat kabar dari pegiat sejarah dan budaya Cirebon, lalu dikirimi foto plang bertuliskan ‘Bale Jaya Dewata’. Dasarnya penamaan ini apa? Yang bikin saya kaget, kok tidak ada orang Cirebon yang diajak bicara,” ujar Jajat.
Ia menegaskan bahwa meski mendukung penggunaan gedung eks Karesidenan sebagai kantor gubernur, proses penamaan seharusnya melibatkan perwakilan keraton, budayawan, dan sejarawan lokal.
“Saya setuju gedung ini dipakai, tapi kenapa tidak diajak diskusi dulu? Misalnya melibatkan keraton atau pegiat budaya. Cirebon punya banyak tokoh besar seperti Panembahan Losari atau Pangeran Cucimanah yang layak dijadikan nama gedung,” tegasnya.
Kritik serupa disampaikan pemerhati budaya Cirebon, Raden Chaidir Susilaningrat. Ia menilai penamaan gedung bersejarah semestinya melalui proses musyawarah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan.
“Penamaan gedung bersejarah harus dimusyawarahkan dengan stakeholder kebudayaan, mengingat misinya adalah pelestarian warisan budaya. Tokoh masyarakat, budayawan, dan pegiat budaya lokal perlu dilibatkan agar hasilnya lebih representatif,” ujar Chaidir.
Ia menambahkan, Cirebon memiliki kekayaan sejarah dan tokoh-tokoh berpengaruh yang seharusnya bisa diabadikan dalam nama gedung pemerintahan. Tanpa melibatkan masyarakat lokal, penamaan semacam ini berisiko dianggap mengabaikan identitas kultural daerah.
Sementara itu, pengelola Gedung Negara mengaku tidak mengetahui secara detail latar belakang penamaan “Bale Jaya Dewata”.
“Untuk nama kantor, saya kurang paham. Yang tertera saat ini ya ‘Bale Jaya Dewata’,” kata Suci Hartati.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemprov Jabar terkait polemik penamaan tersebut. Namun, rencana pembukaan kantor gubernur di Cirebon tetap berjalan, dengan target operasional dalam waktu dekat.
Polemik ini memicu diskusi tentang pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam kebijakan yang berkaitan dengan identitas budaya. Sejumlah pegiat sejarah dan budaya berharap Pemprov Jabar lebih terbuka dalam proses pengambilan keputusan serupa di masa depan.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi ingin dilibatkan. Cirebon punya sejarah panjang yang harus dihormati,” pungkas Jajat. (*)
