Jabaran.id – Sejumlah negara Uni Eropa (UE) secara resmi mengakui Palestina sebagai negara di tengah situasi yang memanas akibat agresi Israel di Jalur Gaza. Langkah ini dilakukan oleh Spanyol dan Irlandia pada hari yang sama, diikuti oleh Norwegia. Mereka menilai pengakuan ini sebagai tonggak sejarah yang penting.
Pengakuan ini disambut positif oleh Palestina, sementara Israel bereaksi dengan kekhawatiran. Keputusan tiga negara Eropa ini dipandang sebagai dukungan kuat terhadap solusi dua negara yang telah lama diupayakan oleh komunitas internasional.
Yon Machmudi, pengamat hubungan internasional kawasan Timur Tengah dari Universitas Indonesia, menilai bahwa pengakuan dari tiga negara Eropa ini memperkuat dukungan terhadap solusi dua negara (two-state solution). Solusi ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina dengan mendirikan dua negara merdeka yang hidup berdampingan secara damai.
“Pengakuan dari tiga negara Eropa itu kian menunjukkan dukungan kuat terhadap solusi dua negara,” ujar Yon.
Yon juga menilai bahwa pengakuan ini memperbesar potensi Palestina untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat ini, status Palestina di PBB adalah pengamat tetap, namun langkah mereka untuk menjadi anggota penuh sering kali terganjal oleh veto Amerika Serikat, sekutu dekat Israel.
“Potensi bagi Palestina untuk diakui secara penuh sebagai negara anggota PBB semakin terbuka. Memang kendalanya ada di Amerika [Serikat],” kata Yon.
Yon berpendapat bahwa pengakuan ramai-ramai dari negara Eropa dapat membuat Amerika Serikat mempertimbangkan kembali sikapnya terhadap Palestina.
“Tidak ada pilihan lain bagi Amerika [selain] bersama negara mayoritas bukan hanya berdua dengan Israel dan bersikukuh mendukung Israel,” ungkapnya.
Yon berharap pengakuan ini bisa mempercepat upaya gencatan senjata antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Menurutnya, gencatan senjata merupakan langkah awal menuju stabilitas kawasan Timur Tengah dan bisa menjadi gerbang bagi Palestina untuk meraih kemerdekaan sepenuhnya.
Namun, Aniello Iannone, pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Diponegoro dan Associate Researcher di Kajian Kawasan dan Politik Internasional, Lingkar Kajian Kolaboratif, memiliki pandangan berbeda. Iannone meragukan bahwa pengakuan Palestina oleh Spanyol, Irlandia, dan Norwegia akan berkontribusi pada penyelesaian konflik dalam waktu dekat.
“Pengakuan Palestina oleh Spanyol diikuti oleh Irlandia dan Norwegia kemungkinan besar tidak akan berkontribusi pada penyelesaian konflik dalam waktu dekat,” kata Iannone.
Iannone membandingkan situasi ini dengan langkah serupa yang dilakukan Swedia pada tahun 2014, yang tidak membawa kemajuan signifikan dalam proses perdamaian Palestina-Israel. Dia menduga bahwa pengakuan ini justru dapat mempertegas posisi Israel terhadap Uni Eropa atau membuka jalan untuk mengatasi kebuntuan politik di dalam organisasi ini.
Beberapa negara Uni Eropa enggan mengutuk tindakan Israel di Gaza karena perpecahan di antara mereka. Spanyol, misalnya, mengakui Palestina dalam batas-batas tahun 1967, sehingga Yerusalem Timur berada di luar kedaulatan Israel, dan menganggap kontrol Israel atas wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai ilegal.
Meski ada perbedaan pandangan, pengakuan oleh Spanyol, Irlandia, dan Norwegia diharapkan bisa diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya untuk mencegah eskalasi konflik.
“Masalah utamanya adalah Timur Tengah sangat dekat dengan Eropa. Dan Eropa, karena kalau eskalasi mereka dekat,” ungkap Iannone.
Pengakuan Palestina oleh beberapa negara Eropa di tengah agresi Israel di Gaza menandai langkah penting dalam dinamika politik internasional terkait konflik Israel-Palestina. Dukungan terhadap solusi dua negara dan potensi keanggotaan penuh Palestina di PBB menjadi semakin nyata, meski tantangan dan perbedaan pandangan tetap ada. (*)
