Jabaran.id,-kota Bogor : Dampak dari kebijakan efisiensi anggaran yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 berimbas pada industri perhotelan dan restoran di Kota Bogor.
Pada kesempatan kali ini Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay, mengatakan, dampak dari efesiensi anggaran atau pengurangan anggaran pemerintahan khususnya perjalanan dinas berimbas pada penurunan okupansi hotel dan jumlah even yang dilaksanakan di hotel.
“Dampaknya sangat terasa, karena salah satu poin efisiensi dalam Inpres ini adalah pengurangan perjalanan dinas, termasuk rapat-rapat yang biasanya diajukan ke Kementerian Keuangan. Akibatnya, anggaran perjalanan dinas dipangkas hingga 50 persen,” kata Yuno Abeta Lahay kepada awak media pada Sabtu 15 Februari 2025.
Menurutnya, meskipun belum terjadi pembatalan pesanan, hal ini disebabkan karena periode Januari-Februari memang merupakan masa tren rendah untuk kegiatan pemerintahan.
“Biasanya, kegiatan mulai meningkat setelah anggaran cair di awal Maret. Namun, karena kebijakan ini sudah diterapkan sejak Oktober lalu, pemesanan untuk bulan Maret pun belum ada,” ungkapnya.
Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan sejak bulan November-Desember 2024 lalu. Pada periode tersebut, jumlah kegiatan rapat pemerintah dihotel turun sekitar 30-40 persen. Meskipun periode libur sekolah dan libur nasional sempat membantu menutupi penurunan. Kami khawatir trend rendah di bulan Januari-Februari akan berlanjut tanpa adanya pemulihan pada bulan Maret mendatang.
“Saya khawatir bulan Maret yang biasanya menjadi titik balik justru tidak mengalami rebound. Beban pengusaha bertambah karena pada awal Maret sudah memasuki bulan Ramadan, yang berarti pengusaha harus membayar gaji dan THR karyawan secara bersamaan. Jika kondisi ini terus berlanjut, banyak pengusaha hotel dan restoran di Bogor yang akan melakukan PHK massal setelah Lebaran,” jelasnya.
Untuk menghindari hal tersebut PHRI Kota Bogor berupaya melakukan komunikasi dengan pemerintah. Yuno menekankan bahwa efisiensi anggaran seharusnya lebih difokuskan pada perjalanan luar negeri dan pengadaan kendaraan dinas, bukan pada kegiatan rapat di hotel yang memiliki dampak ekonomi luas.
“Kegiatan rapat pemerintah itu memiliki mata rantai ekonomi yang panjang. Di belakang kami ada banyak supplier dan UMKM yang bergantung pada kegiatan ini. Jika pemangkasan anggaran berlanjut, bukan hanya pengusaha hotel dan restoran yang terdampak, tetapi juga pekerja dan pelaku usaha kecil lainnya,” katanya.
Jika dibandingkan kondisi saat ini dengan dampak pandemi COVID-19 yang memukul industri perhotelan dan restoran. Ia menilai bahwa switching market atau pengalihan pasar tidak bisa dilakukan dengan cepat.
“Beberapa pihak menyarankan agar kami beralih ke pasar lain, tetapi perubahan ini tidak bisa instan. Transformasi menjadi daerah wisata membutuhkan infrastruktur yang matang serta kesiapan SDM dan masyarakat. Itu bukan proses yang bisa terjadi dalam waktu singkat,” ucapnya.
Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini dengan pendekatan yang lebih bijak, agar industri perhotelan dan restoran tetap dapat bertahan dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Ke depannya, pemerintah dapat lebih mendukung industri perhotelan dan restoran dengan kebijakan yang lebih seimbang antara efisiensi anggaran dan pertumbuhan ekonomi sektor pariwisata.