HomeEkonomiPPN 12%, Mungkinkah Bisnis Bertahan?

PPN 12%, Mungkinkah Bisnis Bertahan?

Oleh : Andi Primafira Bumandava Eka

STIE Manajemen Bisnis Indonesia

 

Jabaran.id – Pemilihan Umum Kepala Daerah baru saja berakhir, tinggal menunggu pengumuman Komisi Pemilihan Umum siapa pemenangnya, atau masih perlu putaran kedua, atau bahkan pemilihannya perlu diulang. Tapi ini bukan cerita tentang proses Pemilu. Siapapun yang terpilih semoga amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawab terutama dalam melaksanakan Amanah Undang-undang sebagai produk hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukum. Salah satu perwujudan dari pelaksanaan ketentuan perundang-undangan adalah terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang berlaku pada Januari 2025. Hal ini telah menjadi topik hangat di kalangan masyarakat dan pengusaha. Bukan menjadi berita yang baru, karena memang tarif PPN telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11% sejak 1 April 2022 lalu dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12% di tahun 2025. Hal ini disebut dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN. Sedangkan dalam pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tarif PPN ini mengalami kenaikan sebesar 2%, dimana sebelum perubahan ditetapkan sebesar 10%. (www.pajak.go.id). Jadi sah saja ketika Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan ketentuan ini ke masyarakat luas dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Agustus 2024 di Jakarta, Selasa (13/8/2024).  (Menkeu beri sinyal soal kelanjutan rencana PPN 12 persen – ANTARA News ).  Di satu sisi, pemerintah berharap langkah ini dapat meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai berbagai proyek pembangunan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang dampaknya terhadap daya beli konsumen dan ketahanan bisnis, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Pada tahun 2024, Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam tingkat inflasi. Pada Januari, inflasi tahunan (y-on-y) mencapai 2,57%. Namun, seiring berjalannya tahun, tingkat inflasi menurun secara perlahan, mencapai 1,71% pada Oktober 2024 Meskipun demikian, tingkat inflasi ini masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5% hingga 3,5%. (Pergerakan Inflasi Indonesia Januari-September 2024, Apakah Masih Terkendali? – GoodStats Data). Kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% berdampak pada inflasi. Bagaimana nantinya jika tarif PPN naik menjadi 12%? Dampaknya bisa saja langsung tercermin pada harga barang dan jasa yang dibayarkan oleh konsumen akhir.  Jika pada tahun-tahun terakhir, harga barang-barang kebutuhan rumah tangga mengalami kenaikan yang signifikan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di Tahun 2025 nanti harga-harga akan mengikuti naik. Kenaikan harga pada Masyarakat dan usaha mencakup perumahan, air, listrik, serta bahan bakar rumah tangga yang mengalami inflasi sebesar 0,02%. Selain itu, perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga juga mengalami inflasi sebesar 0,08%. Industri fashion juga mengalami dampak dari kenaikan inflasi. Harga pakaian dan alas kaki mengalami inflasi sebesar 0,22%. Kenaikan harga ini dapat mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat, dimana konsumen mungkin lebih selektif dalam membeli produk fashion atau mencari alternatif yang lebih ekonomis. Di sektor otomotif, yang termasuk salah satu barang tersier, tidak luput juga dari dampak inflasi. Harga transportasi mengalami inflasi sebesar 0,04%. Hal ini menyebabkan harga kendaraan bermotor meningkat, yang pada akhirnya dapat mengurangi minat masyarakat untuk membeli kendaraan baru. (Inflasi di Indonesia Berdasarkan Kelompok Pengeluaran – GoodStats Data).

- Advertisement -

PPN Pajak 12% 1

Kenaikan ini berdampak pada biaya hidup sehari-hari yang semakin tinggi bagi masyarakat, mengurangi daya beli dan menambah beban ekonomi rumah tangga. Harga barang tersier pada kategori non-esensial cenderung lebih sensitif terhadap perubahan daya beli. Konsumen mungkin menunda atau mengabaikan pembelian barang-barang tersebut jika mereka merasa harganya terlalu tinggi atau jika prioritas keuangan mereka beralih ke kebutuhan pokok.  Penurunan daya beli ini dapat mempengaruhi penjualan dan keuntungan perusahaan yang bergerak di sektor ini. Kenaikan PPN memang akan mengakibatkan peningkatan harga barang tersier. Masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang-barang yang tidak esensial ketika harga meningkat, terutama jika daya beli mereka sudah tertekan oleh faktor lain seperti inflasi. Ini dapat mengurangi permintaan untuk produk-produk fashion, kendaraan bermotor, dan barang mewah lainnya. Akan ada perubahan prioritas konsumen.  Dalam kondisi ekonomi yang menantang, konsumen cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka. Mereka mungkin memilih untuk menunda pembelian barang tersier atau mencari alternatif yang lebih terjangkau. Ini dapat mengakibatkan penurunan permintaan yang akan mengakibatkan penurunan penjualan untuk produk-produk di segmen ini. Industri fashion bisa merasakan dampak cukup besar karena konsumen mungkin mengurangi frekuensi pembelian pakaian baru atau beralih ke merek yang lebih murah. Namun, merek yang menawarkan nilai tambah seperti kualitas tinggi atau desain eksklusif mungkin masih mampu menarik pembeli yang lebih sadar akan nilai daripada harga. Sebuah poin yang menggembirakan bahwa di tengah-tengah berkecamuknya opini Masyarakat dan dunia usaha, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 5%. Melalui Kebijakan Presiden yang menaikkan gaji dan honor guru menjadi salah satu penghibur. Masih ada secercah harapan.

Untuk itu, dalam menghadapi penurunan daya beli masyarakat, bisnis di sektor barang tersier perlu mengembangkan strategi yang lebih adaptif. Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi:

  • Mendorong penjualan melalui promosi menarik atau diskon yang lebih gencar terutama melalui media sosial.
  • Mengembangkan produk baru yang lebih terjangkau atau menargetkan segmen pasar yang berbeda.
  • Menekankan aspek nilai tambah dari produk, seperti kualitas, layanan purna jual, atau fitur unik.
  • Perusahaan disarankan menggunakan teknologi hijau yang murah untuk meningkatkan pengalaman pelanggan dan efisiensi operasional.
  • Industri otomotif perlu beradaptasi dengan menawarkan promosi, potongan harga, atau program pembiayaan yang lebih menarik untuk mempertahankan penjualan.
  • Mengoptimalkan harga dengan menyesuaikan harga jual dengan cermat, mungkin dengan mengurangi margin keuntungan untuk menjaga daya beli konsumen tetap stabil.
  • Mengurangi biaya operasional dan meningkatkan efisiensi bisa membantu bisnis tetap kompetitif meski di tengah kenaikan pajak.
  • Menggunakan Jasa Konsultan Pajak bisa menjadi alternatif yang efektif untuk melakukan perencanaan pajak secara legal dan membantu proses administrasi perpajakan yang lebih kompleks.

Meskipun kenaikan PPN menjadi tantangan baru bagi dunia usaha, dengan strategi yang tepat dan adaptasi yang cepat, bisnis masih memiliki peluang untuk bertahan dan bahkan tumbuh. Kemampuan untuk menavigasi perubahan kebijakan dan memanfaatkan peluang yang ada akan menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi kenaikan PPN ini, akan dapat menjawab pertanyaan mungkinkah bisnis bertahan dari dampak kenaikan PPN 12%, jawabannya YA. BISA!!. Walaupun tetap berharap pemerintah dapat menunda kenaikan ini ataupun memberikan stimulus fiskal kepada Masyarakat terdampak. (*)

TERBARU

spot_img
spot_img

POPULER

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here