HomeEkonomiThrifting dan Gaya Hidup Berkelanjutan: Tren atau Tantangan bagi Industri Tekstil Lokal?
spot_img

Thrifting dan Gaya Hidup Berkelanjutan: Tren atau Tantangan bagi Industri Tekstil Lokal?

Oleh : Aghnia Wulandari (Mahasiswa DIM Universitas Nasional) 

Jabaran.id, – Fenomena thrifting atau kegiatan membeli pakaian bekas impor kini semakin digemari di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Tren ini menjadi populer karena memberikan akses terhadap pakaian bermerek dengan harga yang lebih terjangkau, meskipun produk tersebut telah digunakan sebelumnya. Tak hanya menjadi solusi bagi mereka yang ingin tampil gaya dengan anggaran terbatas, thrifting juga sering kali dianggap sebagai bentuk partisipasi dalam gerakan keberlanjutan, karena penggunaan kembali pakaian dinilai dapat membantu mengurangi limbah tekstil. Berdasarkan survei, sekitar 49,4% anak muda di Indonesia mengaku pernah membeli pakaian bekas melalui thrifting, menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap tren ini.

Namun, lonjakan aktivitas thrifting memunculkan kekhawatiran pemerintah dan pelaku industri tekstil dalam negeri. Dampak yang paling terlihat adalah penurunan daya saing produk lokal, khususnya produk UMKM di sektor tekstil yang bergantung pada pasar domestik. Pakaian bekas impor biasanya dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan produk tekstil lokal baru, sehingga konsumen cenderung memilih produk thrifting daripada produk dalam negeri. Akibatnya, permintaan terhadap produk tekstil lokal menurun, dan banyak pabrik kecil hingga menengah yang mengalami penurunan produksi atau bahkan penutupan, yang pada gilirannya berimbas pada pengurangan tenaga kerja.

Menanggapi kondisi ini, pemerintah mengambil langkah tegas dengan melarang impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 18 Tahun 2021 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Impor. Dalam peraturan ini, pakaian bekas termasuk dalam kategori barang yang dilarang untuk diimpor, di mana pemerintah berharap dapat melindungi industri tekstil dalam negeri dari gempuran produk impor murah. Selain itu, kegiatan thrifting sering kali melibatkan transaksi di luar mekanisme resmi, yang berarti hilangnya potensi pendapatan negara dari sektor pajak dan bea masuk. Kehilangan pendapatan ini tentunya berdampak pada anggaran yang semestinya dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesejahteraan sosial, dan program-program pemberdayaan ekonomi.

- Advertisement -

 

Namun, kebijakan larangan ini juga menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian pihak berpendapat bahwa thrifting memberikan keuntungan bagi konsumen, terutama kalangan yang sensitif terhadap harga. Barang bekas yang berkualitas dengan merek ternama sering kali ditemukan dalam kondisi masih baik, sehingga menarik minat konsumen untuk membelinya daripada produk lokal dengan harga lebih tinggi. Selain itu, bagi beberapa kelompok, thrifting merupakan bentuk ekspresi diri dan pencarian gaya unik yang sulit ditemukan dalam produk baru.

Dari sisi pemasaran, fenomena thrifting menunjukkan adanya pergeseran perilaku konsumen yang lebih fokus pada harga dan tren daripada pada daya tahan atau kualitas produk. Beberapa studi menunjukkan bahwa konsumen, terutama dari generasi muda, lebih mengutamakan nilai simbolis atau status yang melekat pada merek daripada kualitas materialnya. Ini juga mencerminkan pengaruh tren global dan perubahan preferensi yang didorong oleh akses informasi yang lebih luas melalui media sosial.

Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengatasi permasalahan ini secara komprehensif, mengingat banyaknya aspek yang terlibat dalam fenomena thrifting. Sebagai solusi, regulasi yang lebih fleksibel namun tetap ketat bisa diterapkan, dengan fokus pada standar kesehatan dan kualitas untuk barang-barang impor bekas. Pakaian bekas yang masuk ke pasar harus melalui proses disinfeksi dan pemeriksaan kualitas, sehingga tetap aman untuk konsumen. Pembatasan kuota dan pemberian izin khusus untuk penjualan pakaian bekas juga dapat dipertimbangkan untuk mengontrol jumlah barang yang masuk tanpa menghambat sepenuhnya sektor bisnis ini.

Selain itu, untuk meningkatkan daya saing produk lokal, pemerintah dapat memberikan dukungan tambahan bagi UMKM di sektor tekstil, baik dalam bentuk subsidi maupun pelatihan peningkatan kualitas produk. Kampanye nasional yang mendorong konsumen untuk mencintai produk lokal juga bisa dilakukan, di mana promosi besar-besaran tentang produk dalam negeri dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mendukung industri lokal. Langkah ini diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara kebutuhan konsumen, perlindungan terhadap industri lokal, dan pengendalian aktivitas thrifting secara bertanggung jawab.

Kerjasama antara pelaku industri tekstil lokal dan penggiat thrifting juga dapat menjadi solusi yang saling menguntungkan. Industri tekstil dalam negeri bisa mengembangkan produk daur ulang atau upcycling dari pakaian bekas, yang tidak hanya membantu menjaga lingkungan tetapi juga menawarkan segmen pasar baru yang menarik bagi konsumen muda yang peduli pada isu keberlanjutan.

Secara keseluruhan, fenomena thrifting di Indonesia merupakan refleksi dari dinamika pasar yang berubah, di mana konsumen semakin peka terhadap harga dan lebih terbuka pada konsep gaya hidup berkelanjutan. Namun, di sisi lain, pemerintah dan industri lokal dihadapkan pada tantangan untuk melindungi pasar domestik dari persaingan yang tidak sehat dengan produk impor bekas. Dengan kebijakan yang tepat, kolaborasi lintas sektor, dan kesadaran konsumen yang lebih tinggi, Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri lokal sambil tetap memenuhi kebutuhan konsumen dalam era globalisasi yang semakin kompetitif. (*)

TERBARU

spot_img
spot_img

POPULER

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here