HomePendidikanMenelisik Tokoh Firdaus dalam Novel “Perempuan di Titik Nol” dan Nidah Kirani...

Menelisik Tokoh Firdaus dalam Novel “Perempuan di Titik Nol” dan Nidah Kirani Pada Film “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa” Melalui Kacamata Sastra Bandingan

Oleh: Tian Rostiawati (Mahasiswa Sastra, Universitas Pamulang)

 

Jabaran.id – Karya sastra novel dan film sering kali menghadirkan karakter-karakter kuat yang menggugah emosi dan pemikiran pembaca atau penontonnya. Dalam artikel ini, kita akan membandingkan dua tokoh utama dari dua karya yang berbeda, yaitu Firdaus dalam novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El Saadawi dan Nidah Kirani dalam film “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa”. Melalui kacamata atau sudut pandang sastra bandingan, kita akan mengeksplorasi karakter kedua tokoh ini untuk memahami lebih dalam tema-tema yang diangkat oleh kedua karya tersebut. Sastra bandingan adalah pendekatan dalam studi sastra yang membandingkan karya sastra dari berbagai budaya, bahasa, atau periode waktu untuk menemukan kesamaan dan perbedaan.

Sekilas tentang dua karya tersebut, “Perempuan di Titik Nol” adalah novel yang ditulis oleh Nawal El Saadawi, seorang penulis dan aktivis feminis asal Mesir. Novel yang aslinya berjudul “Women at Point Zero” ditulis dalam bahasa Arab, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Novel ini menceritakan kisah nyata seorang perempuan bernama Firdaus yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang lelaki. Melalui perjalanan hidup Firdaus, novel ini mengangkat tema-tema tentang penindasan terhadap perempuan, ketidakadilan sosial, dan perjuangan untuk meraih kebebasan dan martabat.

- Advertisement -

Sedangkan film “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa” adalah sebuah film yang mengisahkan tentang Nidah Kirani atau Kiran, seorang perempuan yang mengalami berbagai penderitaan dalam hidupnya. Sosok Kiran di perankan oleh aghniny Haque, film ini juga disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini tayang serentak di bioskop Indonesia pada tanggal 22 Mei 2024. Film ini merupakan gebrakan film adaptasi novel yang sangat menarik perhatian penonton. Novel yang dimaksud adalah karya Muhidin M Dahlan yakni “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” yang fenomenal pada tahun 2003. Film ini menyajikan perjalanan Kiran dalam mencari jati diri dan kebahagiaan di tengah tekanan sosial dan budaya yang mengekang. Tema-tema seperti dosa, penebusan, dan pencarian makna hidup menjadi fokus utama dalam film ini.

Perbandingan tokoh utama Permpuan Firdaus dan Kiran:

Firdaus tumbuh dalam lingkungan yang keras dan patriarkal di Mesir. Sejak kecil, ia mengalami kekerasan fisik dan psikologis, baik dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitarnya. Sedangkan Nidah Kirani berasal dari keluarga yang religius dan konservatif. Sejak kecil, ia dibesarkan dengan nilai-nilai yang ketat dan sering kali merasa terjebak dalam peraturan yang membatasi kebebasannya. Kedua karakter ini sama-sama menghadapi penindasan dan pencarian kebebasan. Firdaus dan Kiran sama-sama berjuang melawan kekangan sosial yang menindas mereka.

Firdaus adalah sosok yang kuat dan tegar. Meskipun awalnya ia terlihat pasrah dengan nasibnya, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari hak-haknya sebagai seorang perempuan dan berjuang untuk meraih kebebasan. Sedangkan Kiran adalah sosok yang penuh dengan keraguan dan rasa bersalah. Perjalanan hidupnya penuh dengan pencarian makna dan penebusan atas dosa-dosa yang dirasakannya. Baik Firdaus maupun Kiran sama-sama menghadapi perjuangan pribadi yang berat. Keduanya berusaha menemukan kebebasan dan makna hidup dalam lingkungan yang penuh tekanan.

Kedua karakter menghadapi tema penindasan dan pencarian kebebasan. Firdaus dan Kiran sama-sama berjuang melawan kekangan sosial yang menindas mereka. Firdaus menyelesaikan konfliknya dengan tindakan radikal, yaitu membunuh lelaki yang menindasnya dan menerima hukuman mati. Di sisi lain, Kiran menyelesaikan konfliknya melalui pencarian penebusan dan makna hidup.

Karakter Firdaus dan Kiran sama-sama mempunyai keputusan untuk menjadi pelacur, Profesi pelacur yang dipilih oleh Firdaus dalam novel “Perempuan di Titik Nol” dan Nidah Kiran dalam film “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Berdosa” memiliki beberapa kesamaan. Hal ini disebabkan oleh konflik batin yang dialami oleh kedua tokoh tersebut akibat interaksi dengan laki-laki. Kebencian terhadap laki-laki, yang hanya memandang tubuh perempuan sebagai alat pemuas nafsu dan memanfaatkan mereka, menyebabkan kekecewaan mendalam. Akibatnya, mereka memilih untuk tidak menikah karena khawatir akan mengalami diskriminasi dalam kehidupan yang didominasi oleh laki-laki.

Firdaus memandang profesi yang ia pilih sebagai hasil dari dominasi laki-laki yang memiliki kekuasaan mutlak di dunia. Menurutnya, semua perempuan adalah pelacur karena laki-laki memaksa mereka untuk menjual tubuh dengan harga tertentu, dan harga tubuh seorang istri adalah yang paling murah. Firdaus menolak menjadi istri yang diperbudak oleh suami dan lebih memilih menjadi pelacur yang bebas. Berikut adalah kutipan pandangan Firdaus tentang seorang pelacur.

“Tidak sesaatpun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak. Setiap saat saya berikan tubuh saya, saya kenakan harga paling tinggi” (Perempuan di Ttitik Nol, Hal. 133)

Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa Firdaus lebih memilih menjadi seorang pelacur daripada istri yang hanya diperbudak oleh suami. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Kiran dalam film “Tuhan Izinkan Aku Berdosa”

“Ya Rabb? Jika pengabdianku pada-Mu justru Kau balas dengan cobaan yang berat, lantas apa cobaan bagi orang-orang munafik yang telah melecehkan perempuan seperti hamba? Lihatlah, ya Allah! Aku akan jadikan tubuhku ini martir untuk mengungkap kemunafikan umatmu yang sok suci itu!” (Kiran, Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa)

Pilihan Firdaus menjadi pelacur dalam novel “Perempuan di Titik Nol” dipicu oleh perlakuan laki-laki terhadapnya. Ia menolak menjadi objek pemuas nafsu laki-laki tanpa nilai. Sementara itu, Kiran dalam film “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa” memilih profesi ini karena kekecewaannya terhadap Tuhan dan laki-laki. Menjadi pelacur memberinya kekuatan untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Perbandingan ini menunjukkan bahwa latar belakang keputusan Firdaus dan Kiran serupa, yaitu kekecewaan terhadap perlakuan laki-laki yang hanya menginginkan tubuh mereka sebagai perempuan.

Melalui pendekatan sastra bandingan, kita dapat melihat bahwa meskipun Firdaus dalam novel “Perempuan di Titik Nol” dan Nidah Kirani dalam film “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur” berasal dari konteks budaya dan latar belakang yang berbeda, keduanya mengalami konflik batin yang serupa akibat perlakuan dan tekanan dari laki-laki dalam kehidupan mereka. Kedua tokoh ini memilih profesi pelacur sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem patriarkal yang menindas mereka. Firdaus menolak menjadi istri yang diperbudak dan lebih memilih kebebasan sebagai pelacur, sementara Nidah Kirani merasa bahwa menjadi pelacur adalah cara untuk memulihkan kepercayaan dirinya setelah kekecewaan terhadap Tuhan dan laki-laki.

Perbandingan ini mengungkapkan bahwa baik Firdaus maupun Kiran mengalami kekecewaan mendalam terhadap laki-laki yang memandang tubuh perempuan sebagai alat pemuas nafsu. Meskipun pilihan mereka kontroversial, keduanya menunjukkan kekuatan dan keteguhan hati dalam mencari kebebasan dan makna hidup di tengah tekanan sosial yang mengekang. Pendekatan sastra bandingan ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana karakter perempuan dalam karya sastra dan film dapat menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Firdaus dan Kiran, meskipun berbeda latar belakang, mengajarkan kita tentang keberanian untuk melawan dan mencari kebebasan dalam kehidupan yang penuh dengan diskriminasi gender. (*)

TERBARU

spot_img
spot_img

POPULER

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here