Jabaran.id – Setiap tahun, jutaan orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman saat Idul Fitri tiba. Tradisi yang dikenal sebagai mudik ini telah menjadi ritual tahunan yang seolah tak bisa dilewatkan. Namun, tahukah Anda dari mana asal muasal mudik bermula?
Sejarawan dan antropolog menyebut bahwa mudik bukan sekadar tradisi agama, melainkan hasil perpaduan budaya, ekonomi, dan sejarah panjang masyarakat Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, antropolog dari LIPI, akar mudik bisa ditelusuri hingga ke masa pra-Islam.
“Masyarakat agraris Nusantara sudah memiliki kebiasaan pulang ke kampung setelah berbulan-bulan menggarap ladang di tempat jauh,” katanya.
Ketika Islam masuk, tradisi ini beradaptasi dengan nilai-nilai keagamaan. Idul Fitri, yang menandai kemenangan setelah sebulan berpuasa, menjadi momen yang tepat untuk bersilaturahmi.
“Ini diperkuat oleh ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk meminta maaf dan mempererat hubungan keluarga,” jelas Burhani.
Pada masa kolonial Belanda, gelombang urbanisasi mulai terjadi. Banyak warga desa bekerja di kota sebagai buruh perkebunan atau pelabuhan.
“Saat libur panjang seperti Lebaran, mereka pulang membawa upah dan oleh-oleh. Inilah cikal bakal mudik modern,” ujar sejarawan JJ Rizal.
Tradisi ini terus bertahan bahkan setelah Indonesia merdeka. Pada 1970-an, pemerintah mulai memperhatikan arus mudik dengan menyediakan angkutan massal, seperti kereta api dan bus.
Jika dulu mudik sekadar pulang kampung, kini ia juga menjadi simbol status sosial.
“Orang rela menghabiskan uang untuk pulang dengan mobil baru atau membawa banyak barang, meski harus berhutang,” kata sosiolog Imam Prasodjo.
Tidak hanya itu, mudik juga menjadi pendorong ekonomi. Menurut data Kemenhub, pada 2023, sekitar 123 juta orang melakukan perjalanan mudik, menyuntikkan triliunan rupiah ke sektor transportasi, kuliner, dan perdagangan.
Dengan berkembangnya teknologi, sebagian orang mulai mengganti mudik fisik dengan video call. Namun, bagi banyak orang, mudik tetap tak tergantikan.
“Bertemu keluarga langsung, makan bersama, dan ziarah makam leluhur punya nilai emosional yang tidak bisa digantikan gadget,” kata Burhani.
Seiring waktu, tradisi ini mungkin akan terus berevolusi. Tapi satu hal pasti: mudik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia. (*)