HomeNewsInternasionalRuntuhnya Kebijakan Satu Anak di China, Eksperimen Sosial Terbesar

Runtuhnya Kebijakan Satu Anak di China, Eksperimen Sosial Terbesar

Jabaran.id – Kebijakan satu anak di China merupakan salah satu eksperimen sosial terbesar dalam sejarah manusia. Kebijakan ini diperkenalkan pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada 1980, sebelum akhirnya diubah menjadi kebijakan dua anak pada 2015 dan resmi dihapuskan pada 2021. Namun, meskipun diterapkan dalam upaya mengontrol pertumbuhan populasi, kebijakan ini menimbulkan kontroversi besar dan justru berbalik merugikan pemerintah Tiongkok dalam jangka panjang.

Sosiolog asal Italia, Massimo Introvigne, dalam wawancara dengan majalah Bitter Winter edisi April 2025, menyebutkan bahwa kebijakan tersebut memiliki akar dalam gagasan Malthusianisme. Istilah ini merujuk pada teori yang dikembangkan oleh Thomas Robert Malthus dalam bukunya yang diterbitkan pada 1798, “An Essay on the Principle of Population”. Malthus berpendapat bahwa populasi manusia berkembang dalam pola geometris (1, 2, 4, 8, 16, dan seterusnya), sementara produksi pangan hanya bertumbuh dalam pola aritmetika (1, 2, 3, 4, 5…). Dengan demikian, tanpa pengendalian, kelaparan massal tidak dapat dihindari.

Menurut Introvigne, Malthusianisme secara luas dikritik oleh para ekonom dan cendekiawan abad ke-19, termasuk Karl Marx dan Friedrich Engels. Mereka berpendapat bahwa Malthus menyalahkan kemiskinan pada orang miskin itu sendiri, tanpa mempertimbangkan faktor struktural dalam ekonomi kapitalis. Engels dalam “Garis Besar Kritik Ekonomi Politik” menyatakan bahwa kelangkaan pangan bukan disebabkan oleh keterbatasan sumber daya, melainkan oleh sistem produksi kapitalis yang hanya memperhitungkan keuntungan, bukan kebutuhan masyarakat.

Namun, meskipun kritik terhadap Malthusianisme mendominasi studi populasi hingga pertengahan abad ke-20, konsep ini kembali mengemuka dalam bentuk “neo-Malthusianisme”. Beberapa lembaga pemikir progresif, seperti Club of Rome yang didirikan oleh industrialis Italia Aurelio Peccei, mulai berargumen bahwa teori Malthus mungkin tidak berlaku di Eropa abad ke-19, tetapi sangat relevan bagi negara-negara berkembang di abad ke-20. Mereka mendorong kebijakan pengendalian kelahiran, bahkan jika harus diwajibkan oleh negara.

- Advertisement -

Neo-Malthusianisme mengabaikan fakta bahwa kemajuan teknologi memungkinkan pertanian untuk berkembang lebih jauh dan bahwa tingkat kelahiran secara alami menurun seiring dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Introvigne menekankan bahwa kapitalisme secara tidak langsung menjadi alat pengendalian kelahiran yang paling efektif. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang memiliki tingkat kelahiran yang sangat rendah karena banyak orang lebih memilih berinvestasi dalam gaya hidup daripada memiliki banyak anak.

Kebijakan pengendalian kelahiran yang ketat juga membawa dampak negatif lain, terutama dalam hal ketimpangan demografis. Dengan peningkatan harapan hidup berkat kemajuan medis, jumlah tenaga kerja yang berkurang harus menopang lebih banyak populasi lanjut usia. Beberapa pendukung neo-Malthusianisme bahkan mengusulkan kebijakan eutanasia bagi lansia sebagai solusi, meskipun ide ini ditolak oleh mayoritas masyarakat dunia.

Dalam konteks Tiongkok, kebijakan satu anak tidak sepenuhnya merupakan hasil pemikiran Mao Zedong, seperti yang sering disebutkan dalam berbagai sumber. Sejumlah studi menunjukkan bahwa Mao awalnya menolak gagasan ini karena setia pada ajaran Karl Marx yang mengkritik Malthusianisme. Setelah Perang Saudara Tiongkok, populasi negara itu melonjak dari 542 juta pada 1949 menjadi 807 juta pada 1969. Pertumbuhan pesat ini, dikombinasikan dengan kolektivisasi pertanian, menyebabkan kelangkaan pangan di beberapa daerah.

Awalnya, Mao menanggapi masalah ini dengan merujuk pada tulisan Marx, yang menyatakan bahwa solusi atas pertumbuhan populasi adalah peningkatan produksi, bukan pembatasan kelahiran. Namun, kegagalan kampanye Lompatan Jauh ke Depan (1958-1962) mengubah pandangannya. Kampanye ini bertujuan meningkatkan produksi pertanian melalui kolektivisasi yang lebih ketat, tetapi justru menciptakan bencana kelaparan terbesar dalam sejarah, menewaskan 15 hingga 55 juta orang. Kejadian ini menyebabkan Mao mempertimbangkan kembali kebijakan pengendalian kelahiran.

Pada 1964, Mao membentuk Komisi Perencanaan Kelahiran dalam Dewan Negara, yang menjadi cikal bakal kebijakan satu anak. Rencana Lima Tahun untuk periode 1970-1975 dan 1975-1980 memasukkan target pengurangan laju pertumbuhan populasi. Target ini bahkan dipersempit lagi dalam rencana 1975-1980 dengan menetapkan batas pertumbuhan sebesar 1 persen di pedesaan dan 0,6 persen di perkotaan. Kebijakan ini akhirnya diimplementasikan secara luas pada 1980, dengan konsekuensi sosial dan ekonomi yang masih terasa hingga saat ini.

Dengan berjalannya waktu, kebijakan satu anak terbukti tidak berkelanjutan. Rasio ketergantungan meningkat drastis, menyebabkan beban sosial dan ekonomi yang berat. Pada 2015, pemerintah Tiongkok menggantinya dengan kebijakan dua anak, sebelum akhirnya menghapus pembatasan kelahiran sama sekali pada 2021. Namun, dampak jangka panjang dari kebijakan ini, seperti ketidakseimbangan gender dan berkurangnya populasi usia kerja, tetap menjadi tantangan besar bagi negara tersebut. (*)

TERBARU

spot_img

POPULER

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here